Kamis, 05 Mei 2016

Membangun Perkebunan Yang Lebih Baik

Berada di ruang Cordoba Menara 165 Jalan TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Jakarta Selatan selama 4 jam tak terasa membosankan, karena walaupun di luar cuaca sangat panas, tapi di ruangan Cordoba terasa dingin. Saya dan teman-teman blogger berada di  salah satu ruang yang ada di Menara 165 dalam rangka menghadiri acara launching buku Prof.Dr.Ir Agus Pakpahan yang berjudul PERKEBUNAN PEMERDEKAAN INDONESIA sekaligus diskusi dengan topik  Kesuksesan Perkebunan Tanpa Kemajuan Industrialisasi.
Setelah makan siang acara pun dimulai dengan kata sambutan dari perwaklan Dirjen Perkebunan Bapak Dwi Pratomo Sujatmiko, dalam sambutannya mengatakan “Tujuan Peluncuran buku ini bagaimana untuk membangun perkebunan agar lebih baik lagi, dengan harapan membuka cakrawala di era persaingan masyarakat. Buku Perkebunan Pemerdekaan Indonesia juga berfungsi sebagi media transfer pengetahuan kepada masyarakat”.
Setelah Buku Perkebunan Pemerdekaan Indonesa resmi diluncurkan acara diskusi pun dimulai bersama Prof. Agus Pakpahan dan MT Felix Sitorus, dipandu moderator cantik. Perkebunan agro bisa bersinergi dengan industri untuk mengurangi bahan baku impor. Menurut  Prof. Pakpahan di Amerika pertanian menjadi pemersatu masyarakat dan berhasil menghapus perbudakan di negara tersebut.

Permasalahan sekarang adalah pengelolaan lahan perkebunan, poin yang harus ditekankan “What people can do & what people can be”. Di Indonesia lahan pertanian dan perkebunan sangat luas, akan tetapi kita tidak bisa mengelolanya sehingga industri kita tidak maju. Contohnya perkebunan kelapa sawit yang luasnya berkali-kali lebih luas dari kota Jakarta, sangat disayangkan petani buruh hidup miskin. Mengambil contoh negara Korea yang lahan pertaniannya lebih kecil dari Indonesia, tapi dalam waktu 35 tahun bisa menjadi negara maju karena industrinya.
Perkebunan sebagai suatu sistem pemerdekaan menurut Prof. Pakpahan dapat terwujud apabila melepaskan diri dari karakteristik blueprint perkebunan kolonial yakni:
1.    Pemihakan pemerintah terhadap perusahaan besar melalui fasiltas HGU jangka panjang dan penyediaan jaringan infrastruktur khususnya transportasi.
2.   Memposisikan ekspor komoditi primer atau produk antara sebagai prioritas utama sehingga industri pengolahan/manufaktur di dalam negeri kurang berkembang.
3.   Pelestarian sistem ekonomi ganda yaitu sektor perkebunan modern (kapitalis kaya) dan sektor pertanian pangan (subsisten/komersil miskin) yang berjalan di jalur masing-masing, tanpa suatu keterkaitan integratif yang signifikan.

Tentang ekonomi ganda dengan implikasi “kemiskinan struktural”, Prof. Pakpahan melukiskannya dengan tepat dengan mengungkap kasus dikotomi “sawah-sawit”.  Temuannya sangat menarik yaitu:
1.      Intensitas konflik agraris antara perusahaan perkebunan sawit dan petani ternyata berbanding terbalik dengan rasio sawah penduduk: semakin kecil rasio sawah-penduduk semakin tinggi intensitas konflik.
2.   Sawah (subsisten/komersil) menjadi “sumber kemiskinan” bagi petani sementara sawit (kapitalis) menjadi “sumber kemakmuran” bagi “tuan kebun” karena sejak era Sistem Tanam Paksa sampai sekarang “status” (sosial-ekonomi-politik) petani pangan diposisikan jauh di bawah pengusaha perkebunan besar, sehingga proses pembangunan menjadi bias kepentingan golongan tersebut terakhir.
3.   Luas sawah cenderung menyempit sementara luas sawit cenderung meluas, kini dalam perbandingan 8:10, tetapi ekonomi sawah “mensubsidi” ekonomi sawit dalam bentuk penyediaan pangan bagi mayoritas lapisan buruh perkebunan sawit, karena perolehan devisa dari sawit tidak dialokasikan untuk penyediaan pangan nasional.

Di akhir acara sesi tanya jawab berlangsung sangat atraktif, ada seorang bapak yang mengatakan dengan penuh semangat bahwa kopi dan teh yang paling enak itu berasal dari Kerinci  Provinsi Jambi, tapi kopi dan teh itu diekspor tidak bisa dinikmati sendiri. Dari meja para blogger yang terlihat masih muda-muda, menurut moderator karena rata-rata yang hadir sudah sepuh dan sangat menguasai ilmu perkebunan, ada blogger yang mengungkapkan harapannya agar acara seperti Klompencapir diadakan kembali.


Tentang Tesis Agus Pakpahan: “Perkebunan sebagai Pemerdekaan”

Sekilas sejarah perkebunan modern di Indonesia dimulai dari tonggak perkebunan sebagai (wujud) penjajahan yaitu sistem tanam paksa yang diinisiasi J. Van Den Bosh tahun 1830. Sistem tanam paksa adalah revitalisasi sistem eksploitasi ala VOC yaitu penyerahan wajib sebagian tanah dan tenaga kerja untuk pertanaman komoditi ekspor (seperti teh, lada, kayu manis, kina, tembakau, gula, kopi), serta penyerahan hasilnya kepada Pemerintah Hindia Belanda sebagai kompensasi pajak tanah.
Pada dasarnya sistem tanam paksa itu adalah perwujudan perusahaan negara di bawah kendali manajemen Pemerintah Kolonial. Seluruh surplus yang dihasilkan dari ekspor komoditi sepanjang era Sistem Tanam Paksa (1830-1870) itu dikuasai oleh Kerajaan Belanda dan digunakan untuk pemulihan ekonomi negara tersebut. Tercatat dalam masa 1836-1866 sistem itu memberikan surplus yang besar, sehingga Belanda dapat melunasi hutang-hutangnya dan selamat dari kebangkrutan akibat perang.
Ketika sistem tanam paksa digantikan oleh sistem liberal pada tahun 1870-1900, seiring kekalahan kubu konservatif dari kubu liberal di Parlemen Belanda, pola eksploitasi serupa tetap berlanjut. Bedanya, kalau pada era sistem tanam paksa eksploitasi dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, maka pada era sistem liberal dilakukan oleh "plantokrasi" perkebunan swasta besar asing. Pertumbuhan perkebunan swasta asing pada sistem liberal difasilitasi dengan pemberlakuan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870, yang meliberalisasi tanah dengan membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk memperoleh hak "erfpacht" selama 75 tahun atas tanah yang tak dipakai rakyat. Surplus yang dihasilkan perkebunan itu tetap mengalir ke negara induk perusahaan swasta asing, dan relatif tak ada yang tersisa untuk pembangunan ekonomi masyarakat lingkar perkebunan atau pedesaan Hindia Belanda umumnya.
Kemiskinan masyarakat pedesaan Hindia Belanda adalah dampak Sistem Tanam Paksa dan Sistem Liberal yang paling menonjol. Gejala itu terjadi di dua ruas lingkungan sosial perkebunan, yaitu di lingkungan struktur mikro dan makro perkebunan. Di lingkungan struktur mikro, kemiskinan sangat nyata dialami oleh lapisan kuli kebun yang statusnya tak lebih baik dari budak atau bahkan hewan, seperti yang dipaparkan Jan Breman dengan sangat detil. Para tuan kebun menganut prinsip bahwa kuli/buruh harus diupah pada tingkatan untuk hidup berkekurangan, sehingga mereka terpaksa harus bekerja terus menerus.

Fakta- fakta historis Sistem Tanam Paksa dan Sistem Liberal itulah yang mengukuhkan tesis “perkebunan sebagai penjajahan”. Introduksi dan perluasan sistem perkebunan modern yang bersifat kapitalistik di Hindia Belanda telah menciptakan struktur “plantokrasi” yang eksploitatif, sehingga pertumbuhan perkebunan modern bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan tetapi menimbulkan kemiskinan struktural. Inilah dasar untuk menyimpulkan adanya gejala “modernisasi tanpa pembangunan di sektor perkebunan" pada masa itu.
Bertolak dari struktur sosial-ekonomi perkebunan masa kolonial itu, lalu menarik garis ke masa sekarang, maka tesis “Perkebunan Sebagai Pemerdekaan” yang diajukan Prof. Pakpahan dapat dibaca sebagai sebuah intensi untuk "membalik arus sejarah" pembangunan perkebunan nasional. Perkebunan idealnya menjadi wahana sekaligus proses "pemerdekaan bangsa dari kemiskinan".

Kita sering melakukan kesalahan-kesalahan  dan negeri kita miskin karena kita melakukan banyak kesalahan-kesalahan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir dan berkomentar. Komentar spam akan saya hapus.

Wujudkan Impian Ciptakan Rumah Nyaman Listrik Aman

  Sebagai ibu rumah tangga keseharian saya di rumah tak bisa lepas dari penggunaan listrik. Dari mulai masak nasi, mencuci, menyetrika. Saya...